SULIT menerka bagaimana jadinya Aceh nanti, satu atau dua generasi
mendatang, setelah derita fisik selesai dan wilayah itu tumbuh kembali.
Bangun kembali, seperti kisah perawan cantik yang tidur seratus tahun. Dia mudah-mudahan akan menjadi tempat cantik yang damai, yang diimpikan banyak orang. Menjadi kebanggaan penduduknya, dan dambaan banyak orang dari wilayah lainnya. Kota-kotanya rapi dan beraturan, lebih bagus dari kota-kota lain di Indonesia karena dia dibangun dari ketiadaan.
mendatang, setelah derita fisik selesai dan wilayah itu tumbuh kembali.
Bangun kembali, seperti kisah perawan cantik yang tidur seratus tahun. Dia mudah-mudahan akan menjadi tempat cantik yang damai, yang diimpikan banyak orang. Menjadi kebanggaan penduduknya, dan dambaan banyak orang dari wilayah lainnya. Kota-kotanya rapi dan beraturan, lebih bagus dari kota-kota lain di Indonesia karena dia dibangun dari ketiadaan.
Tempat-tempat wisatanya memamerkan keindahan alam dan kultur penduduknya yang memesona. Penduduknya ramah karena tidak merasa perlu lagi bersikap defensif. Solidaritas atas dasar kemanusiaan ternyata lebih mujarab dari sikap keras atau janji-janji yang membawa penderitaan. Aceh sejak sekarang tentunya mulai merasakan kepedulian dan cinta kasih sesama warga negara.
Turis-turis asing maupun yang dari dalam negeri nantinya mengalir ke sana, sama ramai atau bahkan lebih ramai dari bantuan asing atau bantuan penduduk dari wilayah Indonesia lainnya yang membanjirinya sekarang. Tidak ada lagi gangguan keamanan dari pihak mana pun karena ketika diterpa bencana, semua penduduk Aceh menjadi korban. Hikmah tsunami:
Membuat orang pasrah. Membuat orang tawakal berserah diri pada kehendak Tuhan. Sadar bahwa dia hanya manusia biasa yang memerlukan solidaritas sesama manusia, sesama warga negara.
Sementara menuju situasi yang ideal itu, masih banyak pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan. Tiga minggu lebih sejak bencana paling dahsyat dalam
sejarah telah merampas jiwa lebih dari seratus ribu orang di Indonesia,
meninggalkan jutaan menderita batin yang tidak berkesudahan, kita masih
menyaksikan dan mendengar cerita-cerita yang menggetarkan hati. Tetapi,
juga mendengar cerita-cerita yang membuat kita kesal.
Yang membuat kesal, antara lain, ada laporan-laporan dari Aceh bahwa dalam
situasi kalut sekarang ini, masih juga terjadi korupsi pada tingkat bawah
di posko-posko pendistribusian bantuan terpencil di pantai barat.
Misalnya, satu keluarga hanya mendapat dua liter beras dan enam bungkus mi
instan untuk beberapa hari. Tetapi, pada malam hari, warga melihat
bingkisan-bingkisan itu dibawa pergi dari posko. Warga juga melihat
toko-toko yang semula kosong mulai menjajakan sembako dengan harga tinggi.
Berarti, orang-orang yang kena tsunami menjadi korban orang-orang yang
tidak kena tsunami. Bahkan, dalam minggu pertama, di posko dekat bandara,
suatu keluarga terdiri dari 13 orang hanya mendapat tiga mi gelas untuk
makan pagi dan tiga nasi bungkus untuk siang hari. Kisah-kisah yang tidak
menyenangkan itu diperparah oleh laporan-laporan penjarahan di
pinggir-pinggir Banda Aceh dan tempat-tempat terpencil lainnya. Tentu
laporan-laporan seperti itu masih harus dibuktikan kebenarannya. Tetapi,
ini mengingatkan kita, sistem pendistribusian bantuan yang jumlahnya
puluhan ribu ton dari luar Aceh --berupa makanan, pakaian, maupun
obat-obatan-- yang dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan para korban
tsunami dalam masa darurat, masih perlu diawasi. Masih ada saja
orang-orang tidak bernurani yang menggunakan kesempatan dalam masa-masa
kesulitan. Yang juga membuat kesal: keluhan-keluhan yang datang dari luar
Aceh yang mempersoalkan kehadiran relawan atau tentara asing di sana.
Kecurigaan yang tidak bernalar dan tanpa pikiran sehat membuat harian ini
merasa perlu mengangkat persoalan itu dalam editorial yang dibedahnya dua
hari lalu. Kecurigaan itu tentunya dilancarkan atas dasar alasan politik
atau keyakinan yang egoistis, yang mungkin sekali bukan datang dari
orang-orang Aceh sendiri yang sampai sekarang masih menantikan bantuan
dari pihak mana pun. Juga dapat dipastikan kecurigaan itu datang dari
orang-orang yang belum berkunjung ke Aceh sejak tsunami. Mereka belum
berkesempatan menyaksikan parahnya situasi dan apa yang dilakukan
tenaga-tenaga relawan di sana. Ketika orang-orang setempat tidak mampu
menguasai perasaan, sehingga enggan mengangkat mayat-mayat manusia dan
binatang yang membusuk digerogoti belatung dan bertebaran di jalan-jalan,
bahkan di rumah-rumah tempat tinggal, relawan-relawan asing tanpa
ragu-ragu bersemangat mengangkatinya, sama tekun dan semangatnya dengan
tentara kita yang bertugas serupa. Ketika orang-orang kita belum mampu
mencapai daerah-daerah terpencil untuk memberi bantuan, karena kurangnya
sarana dan fasilitas, tentara asing telah memelopori kegiatan itu sampai
ke daerah-daerah yang sulit dicapai di pantai barat.
Tsunami memberikan suatu ujian, yakni ujian untuk introspeksi dan
mengenali kelemahan sendiri. Janganlah membiarkan ego kita menjadi liar,
sehingga dengan ringan menyebarkan rasa curiga dan tuduhan yang hanya akan
memperburuk suasana hati mereka yang tertimpa bencana maupun mereka yang
dengan tulus memberikan bantuan. Sebaliknya, sekaranglah saatnya kita bisa
menunjukkan rasa kebersamaan dan kemanusiaan kita, ketika sebagian dari
sesama warga sedang mengalami penderitaan yang luar biasa. Juga untuk
menunjukkan kesopansantunan kita sebagai suatu bangsa.